Kathelijn (Apresiasi)

Hai, Tuan (apakah betul ini panggilan yang sepadan untuk seseorang yang memanggil ‘Nona’?). Terimakasih untuk apresiasi cerpennya. Baru kali ini diriku mendapatkan komentar atas cerpen yang hampir sepanjang cerpen juga, jujur saja, haha. Jadi, biarkan aku membalasnya di sini karena tidak akan efisien jika komentar seperti ini dibalas di sebuah aplikasi obrolan. Dan lagipula, aku ingin meninggalkan jejak di blog ini bahwa aku telah membuat cerpen berjudul “Kathelijn” tapi terlalu malas untuk memperlihatkannya pada khalayak. Bukan karena tidak percaya diri (mereka bisa bebas membaca cerpen-cerpenku yang lain) tapi aku hanya ingin menunjukannya pada orang yang akan benar-benar memberikan apresiasi saja (:p)

Komentarmu pedas tapi sebenarnya…aku tidak terkejut, sih. Dirimu memang selalu pedas jika memberikan komentar, kenapa tidak menjadi seorang kritikus saja, eh? (:D). Pedas tapi tidak menjatuhkan, itu yang kusuka. Melalui komentar pedasmu itu kau justru ingin membangun, begitu yang kulihat. Tidak heran jika aku selalu senang untuk memperlihatkan tulisanku dan meminta pendapatmu, wahai Tuan Senior.

Aku sebenarnya sudah memperlihatkan cerpen “Kathelijn” ku ini pada seorang teman sebelum pada dirimu. Maka, ketika membaca komentarmu itu, rasanya seperti didepak dari atas awan! Pasalnya, komentar temanku itu sangatlah positif: mengenai betapa Ia sangat suka cerita dan akhir ceritanya dan betapa Ia agak terkejut dengan tulisanku kali ini yang terkesan “Berani”, yah walaupun sebelum itu aku sadar, sih, kalau tulisan ini masih mempunyai banyak kekurangan hahaha.

Hm untuk komentarmu, aku setuju jika diriku masih kurang di “showing”. More to tell, than show. Itu masih menjadi PR-ku. Mengenai karakterisasi orang Belanda, selain karena aku kurang mendapatkan gambaran orang Belanda itu seperti apa (aku harus membaca lebih banyak), sepertinya aku masih terbawa dengan karakter cerita yang aku tulis sebelumnya, ini bukan alasan loh! Hee.

Tapi satu yang menjadi pertanyaanku, Kak. Bagaimana komentarmu mengenai cerita di cerpen ini? Di komentarmu yang panjang itu, kau hanya membahas teknik menulis, loh. Jangan lupa kalau tidak semua orang memperhatikan teknik menulis sedetil itu 😉. Beberapa pembaca hanya memperhatikan alur cerita yang jika mereka suka, mereka suka.

Ngomong-ngomong, tema cerpen ini adalah “kehilangan”. Ini sebenarnya cerpen tantangan yang pernah melibatkan dirimu juga (jika kau masih ingat) tapi kau menghilang karena masalah koneksi internetmu itu. Jadi, bisakah kita lanjutkan tantangan itu sekarang? Coba buat cerpen bertema kehilangan! 🙂

===Sebagai balasan untuk:

Hai, Nona. Sebelumnya aku mau bilang kalau aku sama sekali enggak menerka-nerka tema atau ide apa yang kaumuat di cerpenmu ini saat pertama kali bilang mau menunjukkannya padaku. Aku berharap aku benar-benar dalam keadaan kosong saat membaca Kathelijn dan membuatku cukup objektif–namun mungkin sebaiknya kita selalu mempertanyakan soal itu. Nah, terus terang, cerpenmu ini kurang greget. Aku akan coba membahas bagian apa saja yang menurutku begitu. Semoga berkenan.

Pertama sekali–dan yang langsung terlihat olehku–adalah nuansa. Hal ini berkaitan dengan setting dan waktu peristiwa cerpenmu terjadi. Bisa kukatakan bahwa aku gagal mengimajinasikannya dari ketersediaan narasi yang kaubuat. Namun, aku enggak mungkin mempertanyakan pilihan setting. Namanya juga selera–dan bisa jutaan macam sebabnya. Jika boleh menduga, aku pikir gagalnya nuansa setting itu di benakku, disebabkan oleh kurangnya kepiawaianmu menguasai setting. Kau enggak berada di sana, Nona. Maksudku, kau enggak serasa berada di sana. Jadi bagaimana pembacamu bisa merasakan hal sebaliknya–yang seharusnya jadi kesenangan membaca sebuah cerita? Namun, kau pasti tahu kalau kau bisa membuat dirimu berada di sana. Atau di setting mana pun atau di zaman kapan pun yang kauinginkan. Deskripsi, kau sudah cukup mengenal ini. Menurutku, kecerdikan seorang penulis dalam menguasai setting dalam latar karyanya, bisa terlihat dari cara si penulis menyertakan hal-hal, atau unsur-unsur (bisa berupa simbol, nama tempat, tokoh, dll) yang khas pada saat itu. Dan ini enggak bisa disingkat dengan hanya menuliskan “saat penjajahan” atau adanya keterangan tahun. Kau tahu, kebanyakan roman-jelek ala Indonesia akhir-akhir ini melupakan setting, seolah-olah itu hanya milik penulis fantasi, petualangan, atau roman-roman terdahulu. Sejujurnya, aku banyak mengeditori naskah genre demikian waktu masih bekerja. Dan mari kita katakan saja bahwa, masih berkaitan dengan minimnya nuansa setting di Kathelijn ini, aku menilai cerpenmu malah berbau masa kini.

Selain setting, masalah berikutnya adalah karakterisasi. Begini, Nona. Di sini kaumengenalkan tokoh yang berbeda dengan pembaca sasaranmu. Kau juga menegaskan tokohmu orang apa. Aku menilai dari dialog, cara tokoh menghadapi persoalan, lantas mengambil kesimpulan apa yang mereka pikirkan. Rasanya mereka adalah tetanggaku dan kami hidup di zaman yang sama. Jadinya hanya serasa label. Enggak ada perbedaan antara Raka dan Kathelijn. Mungkin karena Nona Bule itu lahir di Indonesia, mungkin katamu. Tapi, ia tidak bergaul dengan lingkungan luar. Ia masih dalam pengaruh orang tuanya–yang sayangnya juga kehilangan apa yang mungkin bisa membuat pembaca merasa mereka orang Belanda. Kukira kau bisa melakukan yang lebih baik dari itu, Sun. Jangan membuat pembaca merasa sedang menunggangi kuda gila, ketika sebenarnya mereka berada di atas kereta Commuter Line tujuan Bogor. Kembali ke awal, itulah yang dirangkum dalam penguasaan setting demi nuansa yang terasa nyata bagi pembaca. Triknya, memaksimalkan apa saja yang berasal dari setting atau zaman ketika peristiwa itu terjadi.

Hal berikutnya yang kuamati di Kathelijn ini adalah caramu membuka konflik. Enggak begitu bagus, Sun. Pertama: soal tokoh kita yang “ternyata” bangsa asing. Ingatlah bahwa pembacamu adalah kumpulan. Jamak dan beragam. Dan menimbang ide cerpen ini, jelas pembacamu bukan anak-anak. Artinya, kau bisa berhenti memikirkan cara menyuapi mereka. Jelas mereka jauh lebih bisa memasukkan apa saja ke dalam mulutnya masing-masing. Apa pun yang mereka inginkan! Maksudku adalah, ya, Nona: tentu saja mereka SUDAH penasaran dengan judulmu. Bentuk “lijn” dan itu menyiratkan nama, sudahlah lebih dari cukup. Jadi, pekerjaanmu bukanlah lagi mengulanginya, melainkan tunjukkan saja rentetan peristiwa itu: yang membuatmu layak memberikan judul nama tokohnya. Lagi pula, jika kau ingin menjadikan sebuah kemunculan, gunakan cara umum saja. Tampilkan sesuatu yang “Belanda”, bisa berupa kutipan tokoh, lirik, atau istilah umum khas Belanda. Bisa macam-macam–dan sesuai zamannya. Kedua: kau kehilangan semangat menampilkan konflik. Begini, faktanya adalah kau menunjukkan sedang ingin membahas sesuatu. Idemu itu. Kau bahkan sudah menyebutnya di awal cerpen, yang mana berasa seperti membaca konklusi sebelum pembaca melakukan apa-apa. Menurutmu, apakah mereka akan cukup “berdebar” menemukan kalimatmu soal tokoh mengaku diperkosa? Coba kauperhatikan lagi. Itu berkesan seperti bukan sebuah tragedi! Padahal, itu malapetaka, kan? Tak peduli era kapan pun, pemerkosaan selalu malapetaka. Tragedi. Dan Kathelijn sempat ditampilkan menjalani kebahagiaan, lho. Lalu terjadi perubahan yang drastis. Tragis. Apalagi, itu menimpa orang yang konon sebagai penguasa kala itu. Layaknya putri kerajaan yang tiba-tiba diperkosa salah satu warganya yang Sudra ketika keluar dari istana. Betapa aneh dan layak jadi sesuatu yang disebut tragis. Tapi kau memutuskan untuk menyampaikannya cukup dengan kalimatmu itu?

Nah, kurasa itu saja yang bisa kutuliskan, Nona. Maaf karena aku tak memberikan solusi yang cukup berarti. Namun, kau boleh membahasnya. Hanya saja harus sabar karena aku enggak sering online. Kuharap aku sudah melakukan sesuatu yang positif di sini.–1101.

11 thoughts on “Kathelijn (Apresiasi)

  1. komentar yg banyak hal teknis? hmm… siapa namanya tuh admin kemudian.com? kok gw tiba2 lupa? pdhl dia 3 nama yg gw hapal bgt dulu, setelah sunnycherry dan daeyeuh. jangan2 dia? www

    Setelah capek baca berpuluh2 jurnal sampe bosen. akhirnya hati ini berusaha mencari suasana baru dan terbawa juga buat buka blog si.. “yg sempet jadi idola gw tapi gk pernah mau diajak ketemuan”

    hey.. sunny.. Kathelijn.. menurutmu gw akan suka?

    Like

Leave a comment