Lika-liku hidup dan persahabatan adalah tema buku ini secara garis besar. Jika dikerucutkan lagi, buku ini sebenarnya berbicara tentang kehilangan.
Tsukuru, tokoh utama dalam buku ini, telah kehilangan pertemanan yang (sangat) dekat dan berharga. Menyisakan ruang hampa di hatinya sampai merasa mau mati. Tidak ada hentinya berpikir dan kemudian menelusuri apa yang salah pada dirinya hingga dicampakan begitu saja oleh teman-teman terdekatnya.
Aka, Ao, Shiro, Kuro. Dengan Tsukuru, jumlah mereka lima. Pada dasarnya, walaupun kepribadian mereka berbeda, mereka punya banyak kesamaan, kesamaan yang membuat mereka merasa nyaman satu sama lain dan memberikan chemistry yang mengikat. Salah satunya adalah nama. Keempat sahabat Tsukuru itu mempunyai nama yang mengandung arti warna di dalamnya. Aka bearti merah, Ao bearti biru, Shiro: putih, dan Kuro: hitam. Hanya Tsukuru yang tidak punya ‘warna’ di dalam namanya. Akibat fakta tersebut, Tsukuru disebut dan sering merasa Colorless. Tidak seperti teman-temannya yang lain, Tsukuru juga merasa bahwa dirinya adalah yang paling tidak berkesan, tidak unik, tidak spesial dalam hal apa pun. Meskipun begitu, Tsukuru selalu bersyukur dan bahagia menjadi bagian dari mereka.
Lalu, akhirnya, apa yang Tsukuru takuti benar-benar terjadi. Teman-temannya itu meninggalkannya. Sangat tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas. Terlalu terkejut dan sakit hati, Tsukuru tidak pernah mencoba menemui atau menggali alasan atas itu semua.
16 tahun kemudian, dia bertemu seorang wanita bernama Sara dan jatuh cinta. Umurnya sudah 30-an ketika dia menceritakan masa lalunya yang menyedihkan mengenai pertemanan yang berakhir itu pada Sara, dan Sara menyarankan (atau sebenarnya agak memaksa) Tsukuru untuk mencari tahu alasan di balik keputusan teman-temannya saat itu. Dan setelah ditelusuri, terungkaplah sebuah fakta yang mencengangkan.
Bicara soal fakta, di novel ini sebenarnya sampai akhir cerita faktanya tidak benar-benar terungkap, sih…
Pada dasarnya, aku mendapat kesan bahwa Haruki memang sengaja meninggalkan pembaca bertanya-tanya mengenai beberapa hal di buku ini. Bukan, Haruki bukannya meninggalkan pembacanya kebingungan. Haruki cuma memberikan kebebasan berpikir pembaca dalam memandang cerita ini.
Mengenai konflik utama, pembaca diajak menebak mengenai siapa yang benar-benar terganggu mentalnya. Apakah Tsukuru yang -tanpa sadar- mempunyai sisi gelap di dalam dirinya dan tidak sadar sudah melakukan hal-hal buruk sehingga membuatnya ditinggalkan atau salah satu dari keempat temannya itu yang terganggu mentalnya sehingga membuat cerita bohong dan Tsukuru dengan malangnya menjadi pelampiasan?
Cerita ini, bagaimana pun, penuh dengan personality yang kompleks. Konsepnya adalah hal-hal sederhana dalam kehidupan tapi ternyata di sisi lain juga kompleks. Itu semua ditulis dengan begitu lancar dan mengalir serta tidak membosankan untuk dibaca. Bahkan, aku berhasil menyelesaikan buku ini hanya dalam waktu dua hari!
Selain karena membuat penasaran, aku juga bisa relate sama ceritanya. Aku bisa relate dengan perasaannya Tsukuru yang kerap kali merasa dirinya itu enggak penting dan enggak berpengaruh, ketika kenyataannya sama sekali tidak seperti itu. Dia tidak colorless–tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tidak mempunyai warna, melainkan hanya tidak menyadari kelebihan yang dimiliki oleh dirinya sendiri.
Setelah Tsukuru keluar, kelompok pertemanan itu menjadi tidak sama lagi, mereka merasa kehilangan, mereka pun menjadi tidak seimbang dan pada akhirnya mereka juga berpisah dan berjalan di jalannya masing-masing. Di sini aku merasa sedih. Aku pernah sekali kehilangan sahabat, jadi aku tahu betapa buruknya perasaan kehilangan seperti itu.
Kata bang bara, buku Haruki yang ini adalah salah satu buku realisnya ketika kebanyakan buku-buku Haruki yang lain adalah bertema surealis–absurd. Dan, walaupun banyak yang bilang kalau buku ini masih belum apa-apa dibandingkan buku Haruki yang lain, aku tetap suka banget. Enggak tahu apa aku bisa merasa hal yang sama pada bukunya yang lain atau enggak, terutama yang bertema surealisnya.
But, after all, this book is awesome!
“Bukan, Haruki bukannya meninggalkan pembacanya kebingungan. Haruki cuma memberikan kebebasan berpikir pembaca dalam memandang cerita ini.”
Salah satu ciri karya seni (atau dalam hal ini, sastra) yang bagus adalah seperti itu, meninggalkan interpretasi yang bebas kepada penikmat seni itu sendiri. Seperti yang pernah aku bilang waktu di IG Sun. Hehe
Btw, aku jadi tertarik nih baca bukunya. Aku belum pernah satu pun membaca karyanya Haruki Murakami. Rasanya nanti setelah buku2nya Etgar Keret habis kubaca, baru deh beranjak ke Haruki. 🙂
LikeLiked by 2 people
ahaha iya. kamu harus baca baca bukunya haruki pokoknya, soph. soalnya emang worth it 😊 btw, tipe membaca kamu begitu, ya ? selesaikan -semua- buku dari pengarang yg satu, baru beranjak ke pengarang yg lain ?
LikeLike
mmm gak juga sih, aku acak aja sebenernya, tapi entah kenapa karyanya keret ini membuat ku ingin terus membaca karyanya yg lain juga.
LikeLike
i see. bagus, ya ? aku jadi pengin baca juga 🙂
LikeLike
Bagus sun, Keret bener2 penulis jenius. Kalo kamu baca memoarnya, di situ ada cerita ttg anaknya. Anaknya juga gak kalah jenius sama bapaknya.
LikeLike
okay, i’ll try to find it out xD
LikeLike
Jadi penasaran pengin baca juga. Karya surealis HM yang pernah saya tamatkan mungkin cuma Kafka on the Shore sama Sputnik Sweetheart (yang Norwegian Wood sama Dengarlah Nyanyian Angin kayaknya realis deh). Baik yang surealis maupun realis sama2 ngalir dan enak dibacanya (menurut saya sih), cuman ceritanya berasa random aja :v
LikeLiked by 1 person
Dan sampai sekarang aku pun belum membaca karya surealis HM jg. 😦 Entah, kayaknya aku masih lebih kepincut sama karya realis dia tiap kali dihadapkan buat beli kak wkwk. Keren banget emang HM itu, ceritanya sangat ngalir.
LikeLiked by 1 person
Iya, tapi saking ngalirnya, kadang2 kejeblos ke “ranjau”-nya 🤠wkwkw. (Rada2 semi gitu beberapa adegan, padahal entah apa hubungannya sama ceritanya :v biar ada “seru”-nya aja kali, ya.)
LikeLike
Eh maksudnya apa nih kak? Aku gak ngerti. 😅 Ranjau yg bikin pembaca jadi sedih gitu?
LikeLike
Ranjau yang berbahaya buat anak di bawah umur 😜
LikeLike
Oalah hahaha. Iyakak, heran, selalu disisipkan yg kayak gitu ya. Tp ada penulis yg pernah review buku dia dan bilang kalau yg ditulis Haruki soal itu tuh ntah kenapa engga pernah terkesan jorok. Aku pikir ya ada benernya juga sih. Haruki seperti fokus ke feeling dan perumpamaannya, bukan adegan.
LikeLiked by 1 person
Enggak terkesan jorok buat dia, wkwk. Buat sebagian pembaca, kayaknya tetep aja bisa bikin risi, hehe.
LikeLike
Wkwk iya. Tapi enggak separah tulisan yang emang maksud tujuannya buat bikin orang kayak gitu kak (?)
LikeLike
Enggak separah soalnya itu cuma sisipan. Cuma kalo buat saya sih kesannya jadi kayak fan service gitu wkwk, kayak lagi melaju di jalan mulus terus tiba-tiba ada gundukan. Dan bodohnya saya enggak ngerti gimana adegan2 itu merupakan kesatuan dg keseluruhan cerita, kayak kalo enggak ada pun kayaknya enggak apa2 deh. (Soalnya sepenangkapan saya yang awam soal sastra ini cerita2 beliau terkesan random enggak jelas gitu juga sih ðŸ¤). Masih banyak lah alternatif bacaan yang bisa kasih narasi bagus tanpa harus detail banget pas adegan gituan.
LikeLiked by 1 person